Para pengemudi berkumpul di kantor pusat Gojek, Kemang, Jaksel.
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Peneliti Pusat Studi
Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada (UGM) Dwi Ardiantra
Kurniawan mengatakan, fenomena persebaran Gojek di daerah dapat menjadi
kritik terhadap perbaikan pelayanan angkutan umum.
"Meluasnya pengoperasian sekaligus peminat Gojek seharusnya disikapi
sebagai momentum memperbaiki pelayanan angkutan umum," katanya di
Yogyakarta, Jumat (20/11).
Menurut Ardianta, semakin banyaknya masyarakat yang berminat menjadi
pengemudi Gojek merupakan fenomena biasa yang didasari pemanfaatan
peluang. Di sisi lain, menurut dia, masyarakat sebagai calon pengguna
sarana transportasi juga akan memilih moda dengan akses yang lebih cepat
dan mudah. "Jadi sebetulnya ini merupakan fenomena sosial yang wajar,"
kata dia.
Kendati demikian, Dwi Ardianta mengatakan pada dasarnya baik Gojek
maupun ojek konvensional pada umumnya memang belum memiliki legalitas.
Pasalnya, moda tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 itu mengatur bahwa angkutan umum hanya terbatas pada kendaraan
roda empat dan lebih.
"Meski tidak sesuai UU, dalam implementasi pengaturannya, faktanya juga belum jelas apakah boleh atau tidak," kata Ardianta.
Menyikapi fenomena Gojek, menurut Ardianta, pemerintah beserta
pengelola angkutan umum cukup meningkatkan penyajian kemudahan akses
bagi masyarakat disertai jadwal tiba yang tepat. Rendahnya penggunaan
transportasi umum, menurut dia, menandakan layanan dan fasilitasnya
dinilai masih belum optimal dan efisien. "Berkaca dari Gojek masyarakat
menginginkan akses transportasi yang praktis dan efisien."
Meski demikian, pemerintah, menurut dia, tetap perlu memberikan
regulasi yang jelas, agar semakin banyaknya perusahaan ojek yang
bermunculan tidak menimbulkan konflik horizontal antarpengemudi ojek.
"Harus ada upaya dari pemerintah untuk mengatur, bukan mendiamkan saja,"
ujarnya.
kali berita ini telah dibaca
0 تعليقات